Mendalami sejarah pers di Indonesia tidak akan lengkap tanpa menyebut nama Ruhana Kuddus, seorang jurnalis wanita yang memainkan peran krusial dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam masyarakat yang pada masanya masih dipenuhi dengan stereotip mengenai peran perempuan, kehadiran Ruhana Kuddus menandai tonggak penting dalam dunia jurnalisme. Ia bukan hanya menjadi suara bagi perempuan, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan media di Indonesia.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi perjalanan hidup Ruhana Kuddus, dampaknya terhadap jurnalisme, serta warisannya yang terus menginspirasi generasi muda. Diharapkan, kisahnya bisa menjadi teladan bagi banyak orang, terutama perempuan, dalam memperjuangkan kesetaraan dan menuntut hak atas suara mereka.
Ruhana Kuddus lahir pada tahun 1904 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Sejak kecil, ia menunjukkan ketertarikan yang besar pada dunia literasi. Ia mengenyam pendidikan di sekolah yang dikelola oleh Belanda, yang saat itu masih jarang diakses oleh perempuan. Pendidikan yang diterimanya memberi Ruhana bekal yang kuat dalam berkomunikasi dan mengekspresikan ide-ide, yang kelak menjadi aset berharga dalam karirnya sebagai jurnalis.
Menjadi jurnalis pada awal abad ke-20 di Indonesia bukanlah hal yang mudah, terutama untuk seorang perempuan. Di tengah masyarakat yang patriarkis, keberanian Ruhana untuk memasuki dunia jurnalisme patut dicontoh. Pada tahun 1930, ia mendirikan koran perempuan pertama di Indonesia, “Kaum Ibu”. Melalui media ini, Ruhana tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga membuka ruang diskusi mengenai isu-isu yang dihadapi perempuan pada zamannya, seperti pendidikan, kesehatan, dan hak-hak sipil.
Salah satu kontribusi paling penting Ruhana Kuddus adalah kemampuannya untuk memadukan jurnalisme dengan aktivisme. Ia melawan diskriminasi yang dialami perempuan, baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun di ruang publik. Dalam setiap tulisannya, Ruhana menekankan pentingnya perempuan untuk aktif terlibat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang politik dan ekonomi. Pendekatan ini, di tengah tekanan sosial yang besar, menunjukkan keberanian dan komitmen yang luar biasa terhadap kesetaraan gender.
Dari sudut pandang jurnalisme, Ruhana Kuddus memperkenalkan perspektif baru dalam penulisan berita. Ia tidak hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga menggali lebih dalam dampak sosial dari peristiwa tersebut, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Metode ditulisnya yang mendalam dan analitis memberikan warna baru dan memperkaya khazanah jurnalisme di Indonesia.
Penting untuk dicatat bahwa Ruhana tidak berjuang sendirian. Ia membangun jaringan dengan aktivis perempuan lainnya dan memperluas platform untuk suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Dengan cara ini, ‘Kaum Ibu’ bukan hanya koran, tetapi juga komunitas yang saling mendukung dan memberdayakan perempuan. Hubungan ini menunjukkan pentingnya kolaborasi dalam gerakan sosial—sebuah pelajaran berharga untuk generasi muda yang ingin terlibat dalam perubahan.
Ruhana Kuddus menghadapi berbagai tantangan sepanjang karirnya, termasuk penolakan dan kritik tajam dari masyarakat yang konservatif. Namun, semangat juangnya tidak terpatahkan. Dalam karyanya, ia sering kali menghadapi resiko penjara akibat konten-konten tulisan yang dianggap kontroversial. Namun, semua itu tidak menghalangi langkahnya. Ia percaya bahwa pengetahuan adalah senjata paling kuat untuk membongkar ketidakadilan.
Warisannya tidak hanya dapat dilihat dari keberhasilan pendirian media, tetapi juga dari semangat perjuangan yang ia tanamkan kepada generasi-generasi berikutnya. Ruhana Kuddus meninggal dunia pada tahun 1986, namun jari-jarinya masih terasa dalam banyak bidang, terutama dalam jurnalisme dan gerakan perempuan di Indonesia. Pemikiran dan tulisannya menjadi rujukan bagi banyak aktivis perempuan yang menginginkan perubahan.
Pentingnya kehadiran jurnalis perempuan seperti Ruhana Kuddus tidak hanya terletak pada kontribusi mereka di masa lalu, tetapi juga relevansi ide-ide yang diusungnya dalam konteks saat ini. Dalam dunia yang masih menghadapi banyak tantangan dalam hal kesetaraan gender, pesan-pesan Ruhana tetap bergema. Ia mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keadilan sosial adalah perjalanan yang terus menerus dan perlu diupayakan oleh semua kalangan, terutama oleh generasi muda yang menjadi keniscayaan masa depan bangsa.
Mengapa kepemimpinan perempuan dalam bidang jurnalisme itu penting? Jurnalis perempuan dapat memberikan perspektif yang berbeda, menciptakan narasi yang lebih beragam. Kehadiran mereka dapat menambah kedalaman dan keakuratan informasi tentang isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Generasi muda diharapkan untuk mengambil pelajaran dari keberanian Ruhana Kuddus dalam menyuarakan ketidakadilan dan mengadvokasi kesetaraan.
Ruhana Kuddus menjadi simbol perjuangan di dunia jurnalisme Indonesia. Kontribusinya tidak hanya mengubah wajah pers, tetapi juga memberikan suara yang santun bagi banyak perempuan yang merasa terpinggirkan. Dengan meneladani semangat dan dedikasi Ruhana, generasi muda dapat melanjutkan perjuangan ini dan terus memperjuangkan hak-hak perempuan, demi masa depan yang lebih setara dan inklusif.
Akhirnya, sebagai bagian dari penghormatan terhadap Ruhana Kuddus, kita perlu terus mendiskusikan dan merayakan pencapaian perempuan dalam bidang jurnalisme dan bidang lainnya. Menghargai sejarah adalah cara untuk memastikan bahwa perjuangan yang telah dilakukan tidak sia-sia. Dengan demikian, semoga kisah Ruhana Kuddus menjadi inspirasi bagi semua, termasuk generasi muda, untuk terus berjuang demi keadilan dan kesetaraan.